A. Pengertian
Murabahah dalam arti bahasa berasal dari kata raabaha ( (رابح yang akar katanya rabaha ( (ربح artinya tambahan (الزيادة). Menurut pengertian fuqaha, pengertian murabahah adalah menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan yang diinginkannya. Misal, seseorang membeli sepeda motor Rp 12 juta termasuk biaya, pajak dan lain-lain. Pada waktu menjual sepeda motornya pada orang lain, ia menyebutkan harga pembelian ditambah dengan keuntungan yang ia inginkan sebesar Rp 2 juta, sehingga jumlah harga penjualan menjadi Rp 14 juta. Jual beli murabahah bisa dilakukan secara kontan maupun tempo (cicilan).
B. Dasar Hukum Murabahah
Beberapa dalil dalam al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan tentang transaksi jual-beli murabahah :
1. QS. Al Baqarah ayat 275:
... وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ...
Dan Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
2. HR. Bukhari, Kitab Al Buyu’:
عَنْ مُحَمَّدٍ لاَ بَأْسَ الْعَشَرَةُ بِأَحَدَ عَشَرَ وَيَأْخُذُ لِلنَّفَقَةِ رِبْحًا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِهِنْدٍ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ (صحيح البخاري)
Dari Muhammad, tidak bahaya (menjual harga) sepuluh dengan sebelas, dan dia mengambil untung sebagai nafkah. Dan bersabda Nabi saw kepada Hindun:” Mengambillah engkau pada apa-apa yang mencukupi bagimu dan anak mu dengan sesuatu yang baik.”
3. HR. Bukhari, Kitab Al Buyu’:
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِي اللَّه عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا *(صحيح البخاري)
Dari Hakim bin Hizam berkata ia, bersabda Rasululah saw:” Dua orang yang berjual beli itu berhak memilih selama keduanya belum berpisah”, atau beliau bersabda:” Sehingga keduanya berpisah.” Jika keduanya jujur dan terus-terang, maka keduanya mendapat berkah dalam jual-belinya. Jika keduanya menyembunyikan dan berdusta maka dihapuslah berkah jual-belinya itu.”
4. HR. Ibnu Majah:
عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ (سنن ابن ماجة، تحقيق الألباني : صحيح)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka."
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli adalah: 1) adanya penjual dan pembeli (‘akid); 2) ijab dan qobul; dan 3) obyek akad (ma’qud ‘alaih).
1. Adanya penjual dan pembeli (‘akid)
Rukun jual beli yang pertama adalah ‘akid atau orang yang melakukan akad, yaitu penjual dan pembeli. Penjual dan pembeli haruslah orang yang memiliki ahliyah (kecakapan) dan kekuasaan. Kecakapan dan kekuasaan untuk melakukan akad.
2. Ijab dan qobul.
Ijab adalah menetapkan perbuatan khusus yang menunjukkan kerelaan, yang timbul pertama dari salah satu pihak yang melakukan akad. Qobul adalah pernyataan yang disebutkan kedua dari pembicaraan salah satu pihak yang melakukan akad. Contoh: Penjual mengatakan “saya menjual sepeda motor ini kepadamu dengan harga Rp 12 juta”, maka pernyataan penjual ini adalah ijab. Pernyataan pembeli “saya terima beli sepeda motor tersebut dengan harga Rp 12 juta” merupakan qobul. Shighat akad adalah bentuk ungkapan dari ijab qobul. Landasan untuk terwujudnya suatu akad adalah timbulnya sikap yang menunjukkan kerelaan atau persetujuan kedua belah pihak untuk merealisasikan kewajiban di antara mereka.
3. Obyek akad.
Rukun jual beli ketiga ma’qud ‘allaih atau obyek akad jual beli adalah barang yang dijual (mabi’) dan harga (tsaman).
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu:
1) Syarat in’iqad (terjadinya akad);
2) Syarat sahnya jual beli;
3) Syarat kelangsungan jual beli;
4) Syarat mengikat (luzum).
Syarat in’iqad adalah syarat yang harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut syara’. Ada empat macam syarat untuk keabsahan jual beli, yaitu syarat berkaitan dengan orang yang melakukan akad; syarat berkaitan dengan akad itu sendiri; syarat berkaitan dengan tempat akad; syarat berkaitan dengan obyek akad. Syarat untuk orang yang melakukan akad, yaitu penjual dan pembeli ada dua: harus berakal (mumayyiz) dan tidak sendirian. Syarat akad yang sangat penting adalah bahwa qabul harus sesuai dengan ijab. Syarat yang berkaitan dengan tempat akad adalah ijab dan qabul harus terjadi dalam satu majelis. Syarat yang berkaitan dengan obyek akad adalah: barang yang dijual harus ada; barang yang dijual harus maal mutaqawwim (barang yang bisa dikuasai langsung dan boleh diambil manfaatnya); barang yang dijual sudah harus dimiliki; dan barang yang dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli.
Syarat sahnya jual beli secara umum harus terhindar dari enam macam ‘aib: ketidakjelasan (jahalah); pemaksaan (al-ikrah); pembatasan dengan waktu (at-tauqit); ketidakpastian (gharar); kemudharatan (dharar); dan syarat-syarat yang merusak.
Syarat kelangsungan dua beli ada dua, yaitu: kepemilikan atau kekuasaan dan pada benda yang dijual tidak terdapat hak orang lain.
Syarat mengikatnya jual beli: terbebas dari salah satu jenis khiyar yang membolehkan kepada salah satu pihak untuk membatalkan akad jual beli.
D. Ketentuan terkait dengan Murabahah (Baca Fatwa DSN MUI No. 4 Tahun 2000)
Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam LKS:
- LKS dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
- Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
- LKS membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
- LKS membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama LKS sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
- LKS harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
- LKS kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini LKS harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
- Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
- Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak LKS dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
- Jika LKS hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik LKS.
Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
- Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada LKS.
- Jika LKS menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
- LKS kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
- Dalam jual beli ini LKS dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
- Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil LKS harus dibayar dari uang muka tersebut.
- Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh LKS, LKS dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
- Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka
a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik LKS maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh LKS akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:
- Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
- LKS dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat : Hutang dalam Murabahah:
- Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada LKS.
- Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
- Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.
Kelima : Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
- Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya.
- Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam : Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, LKS harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
E. Uang Muka dalam Murabahah (Baca Fatwa DSN MUI No 13 Tahun 2000)
E.1. Dasar Hukum
Uang muka dalam murabahah diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil dalam Al Qur’an dan Al Hadits:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ....
Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu melakukan transaksi utang piutang untuk jangka waktu yang ditentukan, tuliskanlah....(QS. Al Baqarah: 282)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ....
Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.....(QS. Al Ma’idah: 1)
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلا صُلْحًا حَرَّمَ حَلالا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلا شَرْطًا حَرَّمَ حَلالا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ (سنن الترمذي)
Perdamaian itu boleh di antara orang Islam kecuali perdamaian mengaramkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan orang Islam atas syarat-syarat mereka kecuali syarat mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Tirmidzi).
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لا ضَرَرَ وَلا ضِرَارَ ( سنن ابن ماجة، تحقيق الألباني: صحيح )
Tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya (HR. Ibnu Majah).
Kaidah Fiqih:
اْلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا * قاعدة الفقهية
Pada dasarnya semua bentuk muamalah itu diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. (Kaidah fiqhiyah)
الضرريزال
Bahaya harus dibolehkan.
E.2. Ketentuan Uang Muka dalam Murabahah
Ada beberapa ketentuan mengenai uang muka dalam murabahah, yaitu:
1. Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat.
2. Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.
3. Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut.
4. Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah.
5. Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.
F. Diskon dalam Murabahah (Baca Fatwa DSN MUI No 16 Tahun 2000)
F.1. Dasar Hukum
Diskon dalam murabahah diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil dalam Al Qur’an dan Al Hadits:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ....
Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu melakukan transaksi utang piutang untuk jangka waktu yang ditentukan, tuliskanlah....(QS. Al Baqarah: 282)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ....
Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.....(QS. Al Ma’idah: 1)
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلا صُلْحًا حَرَّمَ حَلالا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلا شَرْطًا حَرَّمَ حَلالا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ (سنن الترمذي)
Perdamaian itu boleh di antara orang Islam kecuali perdamaian mengaramkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan orang Islam atas syarat-syarat mereka kecuali syarat mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Tirmidzi).
Kaidah Fiqih:
اْلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا * قاعدة الفقهية
Pada dasarnya semua bentuk muamalah itu diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. (Kaidah fiqhiyah)
اينما وجد ت المصلحة فثم حكم الله
Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Alloh.
F.2. Ketentuan Diskon dalam Murabahah
Ada beberapa ketentuan diskon dalam murabahah, yaitu:
1. Harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qîmah) benda yang menjadi obyek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah.
2. Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
3. Jika dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon dari supplier, harga sebenarnya adalah harga setelah diskon; karena itu, diskon adalah hak nasabah.
4. Jika pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian (persetujuan) yang dimuat dalam akad.
5. Dalam akad, pembagian diskon setelah akad hendaklah diperjanjikan dan ditandatangani.
G. Potongan Pelunasan dalam Murabahah (Fatwa DSN MUI No 23 Tahun 2002)
G.1. Dasar Hukum
Potongan pelunasan dalam murabahah diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil dalam Al Qur’an dan Al Hadits:
Firman Alloh dalam surat Al Baqarah (2) ayat 275:
... وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ...
Dan Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Firman Alloh dalam surat An Nisa’ (4) ayat 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Firman Alloh dalam surat Al Ma’idah (5) ayat 1:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ....
Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.....
Firman Alloh dalam surat Al Ma’idah (5) ayat 2:
.... وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ....
...dan tolong menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong kamu sekalian atas dosa dan permusuhan...
G.2. Ketentuan Potongan Pelunasan
Ada beberapa ketentuan potongan pelunasan dalam murabahah, yaitu:
1. Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.
2. Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan LKS.
H. Potongan Tagihan Murabahah (Baca Fatwa DSN MUI No 46 Tahun 2005)
Ketentuan pemberian potongan tagihan dalam murabahah berikut ini.
1. LKS boleh memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran kepada nasabah dalam transaksi (akad) murabahah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
2. Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan LKS.
3. Pemberian potongan tidak boleh diperjanjikan dalam akad.
Tulisannya lengkap sekali.....syukron atas tulisannya.
BalasHapusTulisannya Lengkap ....
BalasHapusIjin share juga ya pak ....
Thanks