A. Pengertian
Wakaalah dalam arti bahasa berasal dari akar kata wakala yang sinonimnya: salama wa fawadha, artinya menyerahkan. Wakaalah juga diartikan dengan al hifzhu, yang artinya menjaga atau memelihara. Pengertian wakaalah menurut beberapa ulama:
1. Menurut Malikiyah:
Wakalah adalah penggantian oleh seseorang terhadap orang lain di dalam haknya di mana ia melakukan hukum seperti tindakannya, tanpa mengaitkan penggantian tersebut dengan apa yang terjadi setelah kematian.
2. Menurut Hanafiyah:
Wakaalah adalah penempatan seseorang terhadap orang lain di tempat dirinya dalam suatu tasarruf yang dibolehkan dan tertentu, dengan ketentuan bahwa orang yang mewakilkan termasuk orang yang memiliki hak tasarruf.
3. Menurut Syafi’iyah:
Wakaalah adalah penyerahan oleh seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu yang ia berhak mengerjakannya dan sesuatu itu bisa digantikan untuk dikerjakannya pada masa hidupnya.
4. Menurut Hanabilah:
Wakaalah adalah penggantian oleh seseorang yang dibolehkan melakukan tasarruf kepada orang lain yang sama-sama dibolehkan melakukan tasarruf dalam perbuatan-perbuatan yang bisa digantikan baik berupa hak Allah maupun hak manusia.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa wakaalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pihak lain dalam hal-hal yang diwakilkan. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Maka dari itu, pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
Unsur yang terpenting dalam manajemen al-wakalah ini adalah tanggung jawab yang tinggi dari wakil untuk melaksanakan amanat dari muwakil serta muwakil memberikan kepercayaan penuh pada wakil untuk melaksanakan tugas yang telah didelegasikan kepadanya.
Di dalam dunia bisnis dan perdagangan, akad wakalah dapat digunakan untuk kerjasama keagenan seperti sistem penjualan dengan perantara (broker), dealership, dan pihak LKS yang menyerahkan urusan untuk membelikan keperluan barang modal nasabah yang mengajukan pembiayaan modal kerja dan atau produk konsumtif lainnya.
B. Dasar Hukum dalam Al Qur’an dan Al Hadits
Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit mengenai akad wakalah adalah berikut ini:
QS. Al Kahfi ayat 19:
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا.
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun.
HR. Bukhari Kitab Al Ijarah:
وَلَمْ يَرَ ابْنُ سِيرِينَ وَعَطَاءٌ وَإِبْرَاهِيمُ وَالْحَسَنُ بِأَجْرِ السِّمْسَارِ بَأْسًا وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لاَ بَأْسَ أَنْ يَقُولَ بِعْ هَذَا الثَّوْبَ فَمَا زَادَ عَلَى كَذَا وَكَذَا فَهُوَ لَكَ وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ إِذَا قَالَ بِعْهُ بِكَذَا فَمَا كَانَ مِنْ رِبْحٍ فَهُوَ لَكَ أَوْ بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَلاَ بَأْسَ بِهِ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ *
Dan tidak berpendapat Ibnu Sirin, Atho, Ibrahim bahwa upah makelar itu berbahaya, berkata Ibnu Abbas: Tidak berbahaya dengan mengatakan: Jualkanlah pakaian ini, selebihnya harga sekian dan sekian adalah milikmu. Dan berkata Ibnu Sirin: Apabila ada orang berkata: Jualkanlah barang ini dengan harga sekian-sekian, dan keuntungannya untukmu atau keuntungannya untuk antaraku dan kamu., maka hal ini tidak bahaya. Nabi saw bersabda:” Orang-orang Islam disisi persyaratan mereka.”
HR. Bukhari Kitab Al Wakaalah:
وَقَدْ وَكَّلَ عُمَرُ وَابْنُ عُمَرَ فِي الصَّرْفِ *
Dan sungguh, Umar dan Ibnu Umar mewakilkan untuk tukar-menukar.
C. Rukun dan Syarat Wakaalah
Menurut jumhur ulama, rukun wakaalah ada empat, yaitu:
- Muwakkil atau orang yang mewakilkan;
- Muwakkal atau wakil;
- Muwakkal fih atau perbuatan yang diwakilkan;
- Shighat atau ijab dan qabul.
Adapun syarat-syarat yang terkait dengan muwakkil, muwakkal, muwakkal fih dan shighah diuraikan berikut ini.
1. Syarat Muwakkil:
Orang yang mewakilkan harus orang yang dibolehkan melakukan sendiri perbuatan yang diwakilkannya kepada orang lain.
2. Syarat wakil:
a. Wakil harus orang yang berakal.
b. Wakil harus mengetahui tugas atau perkara yang diwakilkan kepadanya.
3. Syarat perkara yang diwakilkan:
a. Perkara yang diwakilkan bukan meminta utang (istiqradh).
b. Perkara yang diwakilkan tersebut bukan hukuman had yang tidak disyaratkan pengaduan, seperti had zina.
4. Syarat yang berkaitan dengan shighat:
a. Shighat yang umum: setiap lafal yang menunjukkan pemberian kuasa dalam perkara yang umum. Contoh: “kamu adalah wakilku dalam segala sesuatu”.
b. Shighat yang khusus: shighat atau lafal yang menunjukkan pemberian kuasa dalam perkara yang khusus. Contoh: “saya wakilkan kepadamu untuk membeli mobil Avanza”.
D. Ketentuan terkait Wakaalah (Baca Fatwa DSN MUI No 10 Tahun 2000)
Pertama : Ketentuan tentang Wakalah:
- Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
- Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua : Rukun dan Syarat Wakalah:
1) Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
a. Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
b. Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
2) Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
a. Cakap hukum,
b. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,
c. Wakil adalah orang yang diberi amanat.
3) Hal-hal yang diwakilkan
a. Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,
b. Tidak bertentangan dengan syari’ah Islam,
c. Dapat diwakilkan menurut syari’ah Islam.Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
Ketiga :
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar