Jumat, 09 Maret 2012

Rahn (Gadai Syariah)

A. Pengertian

Gadai dalam bahasa Arab rahn menurut arti bahasa berasal dari kata: rahana-rahnan yang sinonimnya:

· tsabata, yang artinya tetap;

· daama, yang artinya kekal atau langgeng;

· habasa, yang artinya menahan[1].

Menurut istilah syara’, gadai atau rahn didefinisikan oleh Sayid Sabiq yang mengutip pendapat Hanafiah berikut ini.

“Sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang memiliki nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan untuk utang, dengan ketentuan dimungkinkan untuk mengambil semua utang, atau mengambil sebagiannya dari benda (jaminan) tersebut[2].

Syafi’iyah sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili, memberikan definisi gadai (rahn) sebagai berikut:

“Gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan untuk utang, di mana utang tersebut bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan) tersebut ketika pelunasannya mengalami kesulitan”[3].

Hanabilah mendefinisikan rahn sebagai berikut:

“Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk utang yang bisa dilunasi dari harganya, apabila terjadi kesulitan dalam pengembaliannya dari orang yang berutang”.

Malikiyah mendefinisikan gadai sebagai berikut:

“Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap (mengikat) atau menjadi tetap”.

B. Dasar Hukum

Beberapa dalil al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit mengenai akad rahn adalah berikut ini:

QS. Al Baqarah (2) ayat 283:

﴿ وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ...الاية

Jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.

HR. Bukhari, Kitab Ar-Rahn:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ *(صحيح البخاري)

Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw membeli makanan secara tidak tunai dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.

HR. Malik, Kitab Al Aqdiyat:

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ قَالَ مَالِكٌ وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ فِيمَا نُرَى وَاللهُ أَعْلَمُ أَنْ يَرْهَنَ الرَّجُلُ الرَّهْنَ عِنْدَ الرَّجُلِ بِالشَّيْءِ وَفِي الرَّهْنِ فَضْلٌ عَمَّا رُهِنَ بِهِ فَيَقُولُ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ إِنْ جِئْتُكَ بِحَقِّكَ إِلَى أَجَلٍ يُسَمِّيهِ لَهُ وَإِلاَّ فَالرَّهْنُ لَكَ بِمَا رُهِنَ فِيهِ*

Dari Said bin Musayyab, sesungguhnya Rasululah saw bersabda:” Barang jaminan tidak berpindah hak” Malik berkata: menurut pendapatku, dan Alloh lebih mengetahui (kebenarannya), penjelasannya adalah bahwa seorang lelaki yang meminjam (rahin) sesuatu dengan memberikan barang jaminan kepada orang lain (murtahin), dimana barang jaminannya itu memiliki nilai lebih daripada pinjamannya, maka Rahin berkata kepada Murtahin: Jika aku dapat mengembalikan pinjaman darimu pada waktu yang ditentukan (maka barang jaminan tersebut dikembalikan kepadaku), dan bila tidak maka barang jaminan ini menjadi milikmu sebab apa-apa yang menjaminkan aku di dalam jaminan .

Keterangan: jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman, maka barang jaminannya diberikan pada pemberi pinjaman senilai pinjaman yang dia tanggung. Apabila ada sisa nilai jaminan dari pinjamannya, maka harus dikembalikan, jika kurang maka pemberi pinjaman berhak meminta kekurangannya.

C. Rukun dan Syarat Gadai

Gadai memiliki empat rukun: rahin, murtahin, marhun dan marhun bih. Rahin adalah orang yang memberikan gadai. Murtahin adalah orang yang menerima gadai. Marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan untuk menjamin utang. Marhun bih adalah utang. Menurut jumhur ulama, rukun gadai ada empat, yaitu: ‘aqid, shighat, marhun, dan marhun bih. Ada beberapa syarat yang terkair dengan gadai.

a. Syarat ‘Aqid

Syarat yang harus dipenuhi oleh ‘aqid dalam gadai yaitu rahin dan murtahin adalah ahliyah (kecakapan). Kecakapan menurut Hanafiah adalah kecakapan untuk melakukan jual beli. Sahnya gadai, pelaku disyaratkan harus berakal dan mumayyiz.

b. Syarat Shighat

Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini karena akad gadai menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila akad gadai digantungkan dengan syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang, maka akad akan fasid seperti halnya jual beli. Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat gadai sama dengan syarat jual beli, karena gadai merupakan akad maliyah.

c. Syarat Marhun

Para ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun sama dengan syarat-syarat jual beli. Artinya, semua barang yang sah diperjualbelikan sah pula digadaikan. Secara rinci Hanafiah mengemukakan syarat-syarat merhun adalah sebagai berikut:

1) Barang yang digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu akad dan mungkin untuk diserahkan. Apabila barangnya tidak ada maka akad gadai tidak sah.

2) Barang yang digadaikan harus berupa maal (harta). Dengan demikian, tidak sah hukumnya menggadaikan barang yang tidak bernilai harta.

3) Barang yang digadaikan harus haal mutaqawwin, yaitu barang yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’, sehingga memungkinkan dapat digunakan untuk melunasi utangnya.

4) Barang yang digadaikan harus diketahui (jelas), seperti halnya dalam jual beli.

5) Barang tersebut dimiliki oleh rahin. Tidak sah menggadaikan barang milik orang lain tanpa ijin pemiliknya.

6) Barang yang digadaikan harus kosong, yakni terlepas dari hak rahin. Tidak sah menggadaikan pohon kurma yang ada buahnya tanpa menyertakan buahnya itu.

7) Barang yang digadaikan harus sekaligus bersama-sama dengan pokoknya (lainnya). Tidak sah menggadaikan buah-buahan saja tanpa disertai dengan pohonnya, karena tidak mungkin menguasai buah-buahan tanpa menguasai pohonnya.

8) Barang yang digadaikan harus terpisah dari hak milik orang lain, yakni bukan milik bersama. Akan tetapi menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, barang milik bersama boleh digadaikan.

d. Syarat Marhun Bih

Marhun bih adalah suatu hak yang karenanya barang gadaian diberikan sebagai jaminan kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Marhun bih harus berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, yaitu rahin, karena tidak perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang dijaminnya.

2) Pelunasan utang memungkinkan untuk diambil dari marhun bih. Apabila tidak memungkinkan pembayaran utang dari marhun bih, maka rahn hukumnya tidak sah.

3) Hak marhun bih harus jelas (ma’lum), tidak boleh majhul (samar/tidak jelas).

D. Hukum-Hukum Gadai dan Dampaknya

Akad gadai mengikat bagi rahin, bukan bagi murtahin, oleh karena itu rahin tidak berhak untuk membatalkan akad karena gadai merupakan akad jaminan atas utang. Sebaliknya, murtahin berhak untuk membatalkan akad gadai kapan saja ia kehendaki, karena akad tersebut untuk kepentingannya. Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Hanafiah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, akad gadai baru mengikat dan menimbulkan akibat hukum apabila jaminan telah diserahkan. Sebelum jaminan diterima oleh murtahin maka rahin berhak untuk meneruskan akad atau membatalkannya. Berdasarkan surah Al Baqarah (2) ayat 283:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ....

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). (QS: Al-Baqarah: 283)

Kata rihaanun adalah masdar yang disertai faa’a sebagai jawab syarat mengandung arti amar (perintah), yakni farhanuu (maka gadaikanlah). Perintah terhadap sesuatu (gadai) yang disifati dengan suatu sifat (maqbuudhah) menunjukkan bahwa sifat tersebut merupakan syarat. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian tersebut akad gadai belum mengikat (laazim) kecuali setelah diterima (qabdh).

Menurut Malikiyah, akad gadai mengikat dengan terjadinya ijab dan qabul, dan sempurna dengan terlaksananya penerimaan. Dengan demikian, apabila ijab dan qabul telah dilaksanakan maka akad langsung mengikat, dan rahin dipaksa untuk menyerahkan barang gadaian kepada murtahin. Alasannya, mengqiyaskan akad gadai dengan akad-akad lain yang mengikat dengan telah dinyatakannya ijab dan qabul, berdasarkan firman Alloh dalam Surah Al Maa’idah (5) ayat 1:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ....

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.

Apabila akad gadai telah sempurna dengan diserahkannya barang yang digadaikan kepada murtahin, maka timbullah hukum-hukum berikut ini.

1. Adanya hubungan antara utang dengan jaminan.

Utang tersebut hanya sebatas utang yang diberikan jaminan, bukan utang-utang lainnya.

2. Hak untuk menahan jaminan.

Adanya hubungan antara utang dengan jaminan memberikan hak kepada murtahin untuk menahan jaminan di tangannya atau di tangan orang lain yang disepakati bersama yang disebut dengan ‘adl dengan tujuan untuk mengamankan utang. Apabila utang telah jatug tempo, maka jaminan bisa dijual untuk membayar utang.

3. Menjaga jaminan.

Dengan adanya hak menahan jaminan, maka murtahin wajib menjaga jaminan tersebut, seperti ia menjaga hartanya sendiri, karena jaminan tersebut merupakan titipan dan amanah.

4. Pembiayaan atas jaminan.

Para ulama sepakat bahwa pembiayaan atas jaminan dibebankan kepada rahin. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang jenis pembiayaan yang wajib dikeluarkan oleh rahin.

Menurut Hanafiah, pembiayaan dibagi antara rahin dan murtahin, dengan rincian sebagai berikut: a) setiap biaya yang berkaitan dengan kemaslahatan jaminan dibebankan kepada rahin karena barang tersebut miliknya. Misalnya biaya makan dan minum binatang serta upah petugas yang menggembalakannya; b) setiap biaya yang berkaitan dengan pemeliharaan jaminan dibebankan kepada murtahin, karena ia yang menahan barang tersebut termasuk risikonya. Misalnya upah petugas yang menjaga binatang yang menjadi jaminan.

Menurut jumhur yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, semua biaya yang berkaitan dengan jaminan dibebankan kepada rahin, baik yang berkaitan dengan biaya menjaganya, pengobatan, maupun biaya lainnya

5. Mengambil manfaat terhadap jaminan.

a. Pemanfaatan oleh rahin

Menurut Hanafiah dan Hanabilah, rahin tidak boleh mengambil manfaat atas jaminan kecuali dengan persetujuan murtahin. Malikiyah tidak membolehkan pemanfaatan oleh rahin secara mutlak. Menurut Syafi’iyah, rahin boleh mengambil manfaat atas jaminan, asal tidak mengurangi nilai marhun. Misalnya, menggunakan kendaraan yang menjadi jaminan untuk mengangkut barang. Hal ini karena manfaat barang dan pertambahannya merupakan hak milik rahin, dan tidak ada kaitannya dengan utang. Hal ini didasarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni dan Hakim bahwa Rosululloh SAW bersabda:

الرهن مركوب ومحلوب

Barang gadaian itu boleh dikendarai dan diperah susunya.

b. Pemanfaatan oleh murtahin

Menurut Hanafiah, murtahin tidak boleh mengambil manfaat atas jaminan dengan cara apapun kecuali atas ijin rahin. Murtahin hanya memiliki hak menahan jaminan bukan memanfaatkannya.

Menurut Malikiyah, apabila rahin mengizinkan kepada murtahin untuk memanfaatkan jaminan, atau murtahin mensyaratkan boleh mengambil manfaat maka hal itu dibolehkan, apabila utangnya karena jual beli atau semacamnya. Apabila utangnya karena qardh (salaf) maka hal itu tidak dibolehkan, karena hal itu termasuk utang yang menarik manfaat.

Menurut Syafi’iyah, murtahin tidak boleh mengambil manfaat atas barang yang digadaikan. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rosululloh SAW bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ لِصَاحِبِهِ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ »

Barang gadaian tidak boleh dilepaskan dari si pemiliknya, ia (rahin) yang memiliki pertambahannya, dan ia (rahin) bertanggungjawab atas kerusakannya. (HR. Daruquthni, perawinya dapat dipercaya (tsiqah).

Apabila murtahin mensyaratkan dalam akad utang piutang hal-hal yang merugikan kepada rahin, misalnya tambahan atau manfaat jaminan untuk murtahin, maka menurut qaul yang azhar di kalangan Syafi’iyah, syarat dan akad gadai menjadi batal.

Menurut Hanabilah, untuk jaminan selain binatang, yang tidak memerlukan biaya (makan), seperti rumah, barang-barang dan lain-lain, murtahin tidak boleh mengambil manfaat kecuali dengan persetujuan rahin. Hal ini dikarenakan jaminan, manfaat, dan pertambahannya merupakan milik rahin, sehingga orang lain tidak boleh mengambil tanpa persetujuannya. Apabila rahin mengijinkan murtahin untuk mengambil manfaat tanpa imbalan (‘iwadh), dan utangnya disebabkan qardh maka murtahin tidak boleh mengambil manfaatnya, karena hal tersebut berarti utang yang menarik manfaat, hukumnya haram. Untuk jaminan yang berupa hewan, murtahin boleh mengambil manfaatnya, apabila binatang tersebut termasuk jenis binatang yang dikendarai atau diperah. Hal itu sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan untuk binatang tersebut, walaupun rahin tidak mengijinkannya.

6. Tasarruf (tindakan hukum) terhadap rahn.

Tasarruf terhadap rahn bisa timbul dari rahin atau murtahin.

a. Tasarruf oleh rahin

Menurut Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah, tasarruf oleh rahin terhadap jaminan sebelum barang diserahkan (diterima) hukumnya boleh dilangsungkan tanpa izin murtahin, karena pada saat itu jaminan tidak ada kaitannya dengan hak murtahin. Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa akad gadai mengikat (laazim) setelah dilakukannya ijab dan qabul, dan rahin bisa dipaksa untuk menyerahkan jaminan kepada murtahin. Atas dasar tersebut Malikiyah membolehkan dilakukannya tasarruf terhadap rahn sebelum barang diterima (qabdh). Dengan demikian apabila rahin menjual rahn yang disyaratkan dalam jual beli atau qardh maka jual belinya hukumnya nafidz (bisa dilangsungkan). Apabila jaminan telah diserahkan kepada murtahin maka secara global, menurut ulama, rahin tidak boleh melakukan tasarruf terhadap jaminan, kecuali dengan persetujuan murtahin. Hal itu karena meskipun jaminan itu milik rahin, namun setelah terjadi penyerahan maka ada hak orang lain yang berkaitan dengan jaminan tersebut. Mengenai hukum tasarruf-nya, menurut Hanafiah mauquf, sedangkan menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, batal.

b. Tasarruf oleh murtahin

Seperti halnya rahin, murtahin juga tidak diperbolehkan untuk melakukan tasarruf terhadap jaminan, seperti jual beli dan akad lainnya tanpa izin dari rahin. Hal itu dikarenakan murtahin tidak memiliki hak atas zat barangnya, melainkan hanya memiliki nilai maal-nya. Murtahin hanya memiliki hak untuk menahan barang tersebut dan tidak berhak mengalihkannya kepada orang lain. Menurut Hanafiah dan Malikiyah, hukum akad tasarruf-nya mauquf, sedangkan menurut Syafi’iyah dan hanabilah batal, sedangkan akad gadainya hukumnya tetap sah.

7. Tanggung jawab rahn

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah tanggung jawab terhadap jaminan itu sifatnya amanah atau dhaman (penggantian kerugian).

a. Menurut Hanafiah, tanggung jawab murtahin terhadap jaminan bersifat amanah dilihat dari sisi zat benda yang digadaikan, dan bersifat dhaman dilihat dari sisi nilai harta yang bisa digunakan untuk membayar utang. Artinya, sampai batas yang sama antara jumlah utang dengan nilai atau harta jaminan, maka tanggung jawab murtahin bersifat dhaman. Konsekuensinya murtahin harus mengganti kerusakan jaminan dari utangnya, sehingga rahin bebas dari kewajiban membayar utang. Akan tetapi, apabila nilai jaminan lebih tinggi dari jumlah utang, maka tanggung jawab murtahin bersifat amanah, apabila kerusakan jaminan terjadi bukan karena kelalaian murtahin. Artinya, murtahin tidak wajib membayar sisa harga jaminan dengan uangnya sendiri di luar utang yang ada pada rahin.

b. Menurut jumhur ulama selain Hanafiah tanggung jawab murtahin terhadap jaminan bersifat amanah. Dengan demikian, murtahin tiak dibebani ganti rugi kecuali apabila kerusakan jaminan terjadi karena kelalaian atau keteledoran murtahin. Apabila jaminan hilang atau rusak di tangan murtahin kaena kelalaian atau keteledorannya, maka murtahin wajib mengganti kerugian, karena jaminan tersebut merupakan amanat di tangannya. Kondisinya seperti wadi’ah atau titipan.

E. Ketentuan Terkait dengan Gadai Syariah (Baca Fatwa DSN MUI No 25 Tahun 2002)

Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi dalam gadai syariah secara umum.

1) Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua hutang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

3) Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.

4) Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5) Penjualan Marhun

a) Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi hutangnya.

b) Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

c) Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan

d) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.

F. Ketentuan terkait dengan Gadai Emas (Baca Fatwa DSN MUI No 26 Tahun 2002)

Beberapa ketentuan umum mengenai akad gadai emas adalah berikut ini.

1. Rahn emas diperbolehkan berdasarkan prinsip rahn (lihat bagian D).

2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).

3. Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.

4. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah.



[1] Ibrahim Anis, et al., dalam Ahmad Wardi Muslich, “Fiqh Muamalat”, Jakarta: Amzah, 2010, hal. 286.

[2] Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, 1981, hal. 187.

[3] Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam wa Adillatuhu”, Darul Fikr, Damaskus, 2007, terjemahan, Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar