Jumat, 09 Maret 2012

Musyarakah

A. Pengertian

Syirkah dalam arti bahasa adalah: “Bercampur yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya.[1] Pengertian syirkah dengan ikhtilath (percampuran) banyak ditemukan dalam literatur fiqh mazhab empat. Syirkah diartikan ikhtilath karena di dalamnya terjadi percampuran harta antara beberapa orang yang berserikat, dan harta tersebut kemudian menjadi satu kesatuan modal bersama. Definisi syirkah menurut istilah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

1. Menurut Hanafiah

Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang berserikat di dalam modal dan keuntungan.

2. Menurut Malikiyah

Syirkah adalah persetujuan untuk melakukan tasarruf bagi keduanya beserta diri mereka, yakni setiap orang yang berserikat memberikan persetujuan kepada teman serikatnya untuk melakukan tasarruf terhadap harta keduanya di samping masih tetapnya hak tasarruf bagi masing-masing peserta.

3. Menurut Syafi’iyah

Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama.

4. Menurut Hanabilah

Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.

Syirkah berasal dari kata syirkah yang berarti percampuran. Syirkah adalah pembiayaan berdasar akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak sebesar partisipasi modal yang disertakan dalam usaha (Sholihin, 2010).

B. Dasar Hukum Syirkah

Syirkah merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadits.Beberapa dalil dalam al-Quran dan al-Hadits yang menjelaskan secara implisit syirkah tersebut di bawah ini.

1. QS. Shaad (38) ayat 24:

﴿...وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ

Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang berserikat itu niscaya berbuat aniaya sebagian mereka kepada sebagian, kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan kebaikan, dan mereka itu sedikit.

2. HR Abu Dawud Kitab Al Buyu’ dari Abu Hurairah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا * (تحقيق الألباني : ضعيف)

Dari Abu Hurairah, bersabda Nabi saw:” Sesungguhnya Alloh berfirman:” Aku adalah orang yang ketiga dari dua orang yang bersyirkah, selama tidak mengkhianati salah satu dari keduanya pada saudaranya. Maka ketika ia mengkhianati pada saudaranya, maka Aku keluar dari syirkah mereka berdua.”

3. HR Nasai dari Abdullah bin Mas’ud:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ اشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ يَوْمَ بَدْرٍ فَجَاءَ سَعْدٌ بِأَسِيرَيْنِ وَلَمْ أَجِئْ أَنَا وَلَا عَمَّارٌ بِشَيْءٍ (سنن النسائي، تحقيق الألباني : ضعيف)

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: “Saya bersyirkah dengan ‘Ammar dan Sa’ad dalam hasil yang kami peroleh pada Perang Badar. Kemudian Sa’ad datang dengan membawa dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar datang dengan tidak membawa apa-apa”.

C. Macam-Macam Syirkah

Adapun jenis-jenis syirkah ada dua, yaitu syirkah kepemilikan (amlak) dan syirkah akad (uqud).

1. Syirkah Al Amlak

Syirkah milik adalah kepemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap satu barang tanpa melalui akad syirkah. Syirkah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lain yang mengakibatkan kepemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam syirkah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset riil dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut. Contoh: dua orang diberi hibah sebuah rumah. Rumah tersebut dimiliki oleh dua orang melalui hibah, tanpa akad syirkah antara dua orang yang diberi hibah tersebut. Syirkah milik terbagi dua bagian:

a. Syirkah ikhtiyariyah

Suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul karena perbuatan orang-orang yang berserikat. Contoh A dan B membeli sebidang tanah, atau dihibahi, atau diwasiati sebuah rumah oleh orang lain, dan keduanya menerima hibah atau wasiat tersebut.

b. Syirkah jabariyah

Suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul bukan karena perbuatan orang-orang yang berserikat, melainkan harus terpaksa diterima oleh mereka. Contoh: A dan B menerima warisan sebuah rumah. Rumah tersebut dimiliki A dan B secara otomatis dan keduanya tidak bisa menolak.

2. Syirkah Al ‘Uqud

Syirkah ‘uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersyirkah di dalam modal dan keuntungannya. Syirkah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap-tiap orang dari mereka memberikan modal syirkah dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Syarat-syarat umum syirkah ‘uqud:

1) Tasarruf yang menjadi objek akad syirkah harus bisa diwakilkan;

2) Pembagian keuntungan harus jelas;

3) Keuntungan harus merupakan bagian yang dimiliki bersama secara keseluruhan.

Jenis-jenis syirkah akad adalah sebagai berikut:

a. Syirkah al-‘Inan

Pengertian syirkah ‘inan sebagaimana dikemukakan Sayid Sabiq adalah “suatu persekutuan atau kerja sama antara dua pihak dalam harta (modal) untuk diperdagangkan dan keuntungan dibagi di antara mereka. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa syirkah ‘inan adalah persekutuan antara dua orang atau lebih dimana setiap pihak memberikan porsi tertentu dari keseluruhan dana investasi yang dibutuhkan dan ikut berpartisipasi dalam pengelolaannya. Kedua pihak berbagi pula dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang telah disepakati diantara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak baik dalam dana investasi maupun kerja atau bagi hasil tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Contoh: A, B dan C bersepakat untuk syirkah membuka warung pecel lele. Masing-masing setor modal yang berbeda, A menanamkan modal Rp 2 juta, B sebesar Rp 3 juta dan C sebesar Rp 4 juta.

b. Syirkah Mufawadhah

Mufawadhah dalam arti bahasa adalah al musaawah yang artinya persamaan. Menurut pendapat lain, mufawadhah berasal dari kata at-tafwiidh (penyerahan), karena masing-masing peserta menyerahkan hak untuk melakukan tasarruf kepada teman serikat yang lainnya.[2] Dalam arti istilah, syirkah mufawadhah didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili: “suatu akad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk bersekutu (bersama-sama) dalam mengerjakan suatu perbuatan dengan syarat keduanya sama dalam modal, tasarruf dan agamanya, dan masing-masing peserta menjadi penanggung jawab atas yang lainnya di dalam hal-hal yang wajib dikerjakan, baik berupa penjualan maupun pembelian”. Dari pengertian di atas dapat dirangkum bahwa syirkah mufawadhah adalah kontrak/kerjasama antara dua orang atau lebih di mana masing-masing pihak memberikan porsi tertentu dari keseluruhan dana investasi dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama rata. Dengan demikian, syarat utama dari jenis ini adalah kesamaan jumlah dana investasi yang diberikan, kerja, tanggung jawab dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.

c. Syirkah Abdan (Amal)

Sirkah abdan didefinisikan oleh Sayid Sabiq: “kesepakatan antara dua orang (atau lebih) untuk menerima suatu pekerjaan dengan ketentuan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan”. Dalam pengertian lain, syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal (Sholihin, 2010). Contoh: tukang batu dengan beberapa temannya berserikat dalam mengerjakan pembangunan sebuah rumah. Kerjasama tersebut bisa dalam satu jenis pekerjaan yang sama, seperti tukang batu dengan tukang batu, dan bisa juga dalam jenis-jenis pekerjaan yang berbeda. Misal kerjasama tukang batu dan tukang kayu. Syirkah ini bisa disebut syirkah abdan, syirkah a’mal, syirkah ash-shanaai’, atau syirkah taqabbul.

d. Syirkah Wujuh

Syirkah wujuh didefinisikan oleh Sayid Sabiq: “pembelian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dari orang lain tanpa menggunakan modal, dengan berpegang kepada penampilan mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dengan ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan”. Disebut syirkah wujuh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak (misalnya A dan B) yang sama-sama melakukan kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang mengeluarkan modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat (Sholihin, 2010). Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah padanya (An-Nabhani, 1990:154). Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya tanpa sumbangan modal dari masing-masing pihak. Misalnya A dan B tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990:154). Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan dalam hal keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (misalkan: seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur atau suka memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan dalam hal keuangan (tsiqah maliyah) yang tinggi misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.

D. Ketentuan-Ketentuan dalam Syirkah (Baca Fatwa DSN MUI No 8 Tahun 2000)

Pertama : Beberapa Ketentuan:

1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.

b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.

c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset syirkah dalam proses bisnis normal.

d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas syirkah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.

e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.

3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)

a. Modal

i. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama.

ii. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.

iii. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal syirkah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.

iv. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan syirkah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

b. Kerja

i. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan syirkah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.

ii. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam syirkah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

c. Keuntungan

i. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian syirkah.

ii. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.

iii. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.

iv. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.

d. Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.

4. Biaya Operasional dan Persengketaan

a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.

b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.



[1] Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islaamiy wa Adilatuh, Juz 4, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. III, 1989, hlm. 792.

[2] Sayid Sabiq, juz 3, hlm.296 (catatan kaki no.1)

1 komentar: