Jumat, 09 Maret 2012

Salam

A. Pengertian

Salam dan salaf mempunyai pengertian yang sama. Dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith disebutkan “as salaf diartikan dengan “bai’us salam” yang artinya jual beli salam. Pengertian salaf atau istalafa: iqtaradha yang artinya berutang. Beberapa pengertian salam:

· Hanafiah: sesungguhnya pengertian salam menurut syara’ adalah jual beli tempo dengan tunai.

· Syafi’iyah dan Hanabilah: salam adalah suatu akad atas barang yang disebutkan sifatnya dalam perjanjian dengan penyerahan tempo dengan harga yang diserahkan di majelis akad.

· Malikiyah: salam adalah jual beli di mana modal (harga) dibayar di muka, sedangkan barang diserahkan di belakang.

· Bai’ salam adalah jual beli lewat cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu (spesifikasi, jumlah/takaran, harga, tempat penyerahan barang yang jelas) dan pembayaran secara tunai di muka secara penuh.

B. Dasar Hukum Salam

Salam merupakan akad yang dibolehkan meskipun obyeknya tidak ada di majelis akad, sebagai pengeualian dari persyaratan jual beli yang berkaitan dengan obyeknya. Dasar hukum dibolehkannya salam adalah

Di dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) ayat 282:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ....

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hedaklah kamu menulisnya....”

Dalam menafsirkan ayat di atas, Muhammad Ali As Says mengatakan: “menurut kebanyakan ahli tafsir, jual beli itu ada empat macam, yaitu (1) jual beli barang dengan barang, (2) jual beli utang dengan utang. Kedua macam jual beli ini tidak termasuk dalam ayat di atas. (3) jual beli barang dengan utang, (4) jual beli utang dengan barang, dan ini yang disebut dengan salam. Kedua jenis jual beli yang terakhir ini termasuk ke dalam ayat di atas.

Ibnu Abbas dalam atsar yang diriwayatkan oleh Imam Asy Syafi’i, Thabrani, Al Hakim dan Baihaqi mengatakan: “saya bersaksi (meyakini) bahwa sesungguhnya salaf (salam) yang ditanggungkan (dijanjikan) untuk masa tertentu, sesungguhnya telah dihalalkan oleh Alloh di dalam kitab-Nya dan diizinkan untuk dilakukan, kemudian beliau membaca Al Baqarah ayat 282.

Dalam al-Hadits dijelaskan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلاَثَ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ *

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi saw datang ke Madinah, dan mereka meminjamkan uang untuk pembelian kurma dua atau tiga tahun mendatang. Maka Nabi bersabda:” Barangsiapa menghutangkan dalam sesuatu, hendaklah dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas sampai waktu yang jelas.” (HR Bukhari, Kitab al-Salam)

C. Rukun dan Syarat Salam

Rukun salam menurut hanafiah adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, seperti halnya jual beli, rukun salam adalah:

  1. Aqid, yaitu pembeli atau al muslim atau rabbussalam, dan penjual atau al muslam ilaih;
  2. Ma’qud ‘alaih, yaitu muslam fih (barang yang dipesan), dan harga atau modal salam (ra’s al maal as-salam);
  3. Shighat yaitu ijab dan qabul.

Ijab menurut Hanafiah, Malikiyah dan Hanabilah menggunakan lafal salam, salaf dan bai’. Seperti ucapan pemesan atau rabbussalam: “saya pesan kepadamu barang ini”, lalu dijawab oleh pihak lain yaitu orang yang dimintai pesanan (muslam ilaih): “saya terima pesanan itu”.

Syarat-syarat salam ada yang berkaitan dengan ra’s al maal dan ada yang berkaitan dengan muslim fih. Ada enam syarat yang harus dipenuhi agar salam menjadi sah, yaitu:

  1. Jenis muslam fih harus diketahui;
  2. Sifatnya diketahui;
  3. Ukuran atau kadarnya diketahui;
  4. Masanya tertentu;
  5. Mengetahui kadar (ukuran) ra’s al maal; dan
  6. Menyebutkan tempat pemesanan/penyerahan.

Hanabilah mengemukakan enam syarat yang berkaitan dengan alat pembayaran, yaitu:

  1. Jenisnya harus jelas, misal dinar atau dirham.
  2. Macamnya harus jelas, misal dollar Amerika atau dollar Singapura.
  3. Sifatnya jelas, misalnya bagus atau jelek.
  4. Mengetahui kadar dari ra’s al maal, apabila pembayarannya berupa makilat (ditakar), mauzunat (ditimbang), dan ma’dudat (dihitung). Di sini harus jelas berapa liter, kilo dan sebagainya.
  5. Alat pembayaran harus dilihat agar diketahui jelas baik atau tidaknya.
  6. Alat pembayaran harus diserahterimakan secara tunai di majelas akad sebelum para pihak meninggalkan majelis.

Hanafiah mengemukakan bahwa obyek akad salam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Jenis barang yang dipesan harus jelas;

2. Macamnya juga harus jelas;

3. Sifatnya juga harus jelas;

4. Kadar (ukurannya) harus jelas, baik takaran, timbangan, hitungan atau meterannya (dzar’iyat);

5. Di dalam obyek akad tidak terdapat salah satu sifat illat riba fadhal, baik dalam takaran, timbangan, maupun jenis;

6. Muslam fih (barang pesanan) harus berupa barang yang bisa dinyatakan.

7. Muslam fih hendaknya diserahkan dalam tempo yang akan datang, bukan sekarang;

8. Jenis muslam fih harus ada di pasar, baik macamnya maupun sifatnya, sejak dilaksanakannya akad sampai datangnya masa penyerahan, dan diduga tidak pernah putus dari tangan manusia;

9. Akad harus sekaligus jadi, tanpa ada khiyar syarat, baik bagi kedua belah pihak maupun bagi salah satunya;

10. Menjelaskan tempat penyerahan barang, apabila barang yang akan diserahkan memerlukan beban dan biaya;

11. Muslam fih harus berupa barang yang bisa ditetapkan sifat-sifatnya, yang harganya bisa berbeda-beda tergantung dengan perbedaan barangnya


D. Fatwa Tentang Jual Beli Salam

Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa tentang jual beli salam No: 05/DSN-MUI/IV/2000.

Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:

  1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
  2. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
  3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Kedua : Ketentuan tentang Barang:

  1. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
  2. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
  3. Penyerahannya dilakukan kemudian.
  4. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
  5. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
  6. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel:

Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:

a. Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan

b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:

  1. Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
  2. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
  3. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
  4. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
  5. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
    a.membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,

b. menunggu sampai barang tersedia.


Kelima : Pembatalan Kontrak:

Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.

Keenam : Perselisihan:

Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar